MERTUA LANGKA
Ummi Abi Hebat - #Cerpen
“Mah, ada nenek
datang.” Suara anakku terdengar sampai ke dapur.
“Mampus dah gue,
mertua datang aku nggak punya apa-apa, beras habis, kulkas kosong, apa yang
akan aku katakan padanya.”
Saat suamiku masih
bekerja aku selalu mengiriminya uang pun saat suamiku dipecat saat pandemi aku
tetap mengiriminya uang hasil aku jualan dagangan orang lain dan hasil ngojek
suamiku, agar dia tidak tahu anaknya sedang susah.
Biarlah ibu
mertuaku tahunya kami hidup enak terus.
“Eh ibu, mari
masuk, Bu?” aku bawakan tasnya ke dalam kamar setelah aku salim.
Anakku pun cium
tangan dan langsung mengajak neneknya bermain di depan.
Sepertinya mertuaku
akan menginap lama, karena tas yang dibawa agak banyak.
“Sebentar ya, Bu,
Nisa bikinin minum dulu.”
Saat itulah
kesempatan aku lari ke warung.
“Teteh mau ngebon
dulu ya, nanti saya bayar kalau mas Wawan udah pulang.”
“Iya, Mbak selow
aja.”
Untung teteh
warungnya orangnya baik banget. Aku ngebon
beras, minyak, gula, teh, kopi.
“Teh, nanti yang
ambil mas Wawan ya, saya nitip dulu.”
“Siap Mbak.”
Tak lupa aku kirim
pesan ke mas Wawan.
[Mas, nanti ambil
belanjaan di warung Teh Murni, aku ngebon dulu, ibu kamu datang, sebelum pulang
copot dulu jaket ngojek kamu ya, pura-pura kamu pulang kerja terus habis
belanja juga]
[Ok]
Aku lalu pulang
lewat pintu belakang dan membuat minum untumy ibu mertuaku, aku gorengin pisang
kebetulan kemarin dikasih sama yang punya kontrakan.
“Ayo, Bu diminum
dulu sama goreng pisang mumpung anget.”
“Iya, gimana
keadaan kalian? Ibu mau nginep di sini seminggu boleh ya? Lagi jenuh di rumah.”
“Iya boleh, Bu.”
Itu artinya aku
sama mas Wawan harus acting selama seminggu.
“Wawan belum pulang
kerja?”
“Sebentar lagi, Bu,
tuh dia.”
Mas Wawan pulang
dengan membawa belanjaan yang tadi aku bon di warung, dia juga membeli soto
ayam Sokaraja kesukaan ibu mertua dan tentunya pulang tanpa jaket ojek.
Ibu mertua tampak
bangga banget melihat anaknya pulang kerja membawa belanjaan. Sementara aku
sibuk whatsApp teman untuk meminjam uang, karena seminggu di rumah artinya aku
harus punya stok uang yang banyak.
Syukurlah aku dapat
pinjaman dari ibu kontrakan. Sebenarnya
bukan pinjaman tetapi aku mengambil lagi uang yang udah aku bayarkan
untuk kontrakan sebulan separuh. Aku janji akan menggantinya setelah aku dapat
komisi dagangan orang.
Selama seminggu mas
Wawan selalu berangkat dengan baju rapih dan pulang saat jam kantor juga
pulang, agar ibu tidak curiga.
Aku pun masak
makanan yang enak-enak agar ibu tahu anaknya tak susah di rantauan.
“Enak nih kalau ada
nenek, makannya enak-enak mulu!” ujar anakku polos.
“Emang biasanya
makannya nggak enak?”
Aku senggol anakku
agar menengok lalu aku kedipin mataku.
“Enak sih, tapi
lebih enak kalau ada nenek,” jawab anakku setelah aku kedipin.
Aku takut dia jujur
bahwa selama pandemi makannya seadanya yang penting masih tiga kali sehari.
“Wan, itu kasur
kamu keras banget, ibu sakit badannya, beliin kasur inoac dong biar nyaman
tidurnya.”
Aduh, uang dari
mana buat beli kasur dadakan, padahal itu aku udah ngalah tidur di kasur
lantai. Akhirnya aku mendatangi tukang kredit yang bisa kasih kasur dengan
sistem arisan bulanan.
Aku sama mas Wawan
izin pergi bilang mau beli kasur padahal aku ambil di tukang kredit, yang penting
ibu bisa tidur nyaman.
“Asik kasur baru,
aku tidur sama nenek lagi ya?” ujar anakku kegirangan.
Ibu mertuaku
terlihat bangga banget dengan anaknya yang bisa memenuhi keinginannya.
Pagi-pagi sebelum
mas Wawan berangkat.
“Wan, ibu pengen
banget makan steak yang kata orang-orang dagingnya empuk itu loh.”
“Iya, Bu nanti
pulang kerja Wawan bawain.”
Mas Wawan bicara
padaku tentang keinginannnya. Aku kasih persediaan uang yang aku punya.
“Beliin aja, Mas,
belum tentu besok-besok dia kepengin.”
Aku selalu menuruti
apa pun keinginan mertuaku, bagaimana pun dia sudah melahirkan dan membesarkan
mas Wawan, giliran anaknya sudah dewasa malah menghidupi aku yang jelas-jelas
orang lain makanya aku merasa perlu membalas budi.
Selama di kontrakan
ibu sering aku tinggal pergi karena aku harus mengantar dagangan pesanan orang
menggunakan sepeda.
Ibu tidak keberatan
karena ada anakku yang menemaninya.
“Pokoknya ibu
jangan ngapa-ngapain ya, jangan megang kerjaan apa pun, tunggu saya pulang ya
bu, Nisa antar dagangan dulu.”
“Iya hati-hati,
Nis.”
Saat malam hari
kita lagi ngobrol-ngobrol.
“Wan, besok kamu kan
libur, ibu pengin jalan-jalan ke pantai sambil makan ikan bakar, enak banget
kayanya.”
Aku dan mas Wawan
saling pandang, harus ke mana lagi aku pinjam uang.
“Iya, Bu besok kita
jalan ya?” ujarku. Sekarang ibu istirahat ya biar besok seger, pantainya agak
jauh soalnya,” lanjutku.
Setelah ibu tidur
aku dan mas Wawan sibuk mencari pinjaman, akhirnya aku gadaikan cincin lima
gram mahar menikah dulu, nanti aku
tebus, yang penting saat ini aku dapat uang.
Esoknya aku pesan
taxi online menuju pantai, melihat ibu bahagia rasanya aku dan mas Wawan pun
ikut bahagia, belum tentu ketika kita banyak uang ada kesempatan menyenangkan
beliau.
Seminggu sudah ibu
mertuaku di kontrakanku. Saatnya ibu pulang, aku membelikannya tiket untuk
pulang dan tak lupa aku memberinya uang untuk pegangan.
Aku dan mas Wawan
mengantar sampai pool bis jurusan kota asal kami.
“Hati-hati ya bu,
handphone jangan sampai nggak aktif, kabari kalau ada apa-apa, kalau sudah
sampai juga kabari ya, Bu,” ujarku khawatir.
Aku catat nomer
Bis, takut ada apa-apa aku bisa melacaknya.
Aku pulang dengan
mas Wawan dan langsung berhitung hutang yang harus aku bayar dan jumlahnya
tidak sedikit.
“Maafkan ibu ya,
Nis,” ucap mas Wawan merasa bersalah.
“Ngapain minta maaf
, Mas, ibumu ya ibuku juga, smoga Allah memberi kita jalan keluar untuk
membayar hutang-hutang ini.”
Saat aku
membersihkan kamar, aku melihat ada kertas di meja dan sebuah amplop.
‘Untuk anakku dan
menantuku yang tukang bohong’
Terima kasih sudah
membahagiakan ibu selama tinggal di tempat kalian. Semoga Tuhan memberkahi
hidup kalian.
Tertanda
Ibu dan mertua
kalian.
Baca Juga : 5 Langkah Pola Asuh Mendampingi Remaja
Aku membacanya
keras-keras membuat aku dan mas Wawan menahan tangis.
Aku buka amplop di
bawah kertas tadi. Ada uang lima juta di dalamnya. Seketika aku menangis.
“Ibuuuu.... “
Mas Wawan pun
menangis.
“Maafkan Wawan,
Bu.”
Aku segera menuju
warung teh Murni mau membayar hutang sembako kemarin.
“Loh sudah dibayar
sama ibu mertua mu Mbak, kemarin beliau ke sini di antar sama Adi anakmu.”
“ya Tuhan.”
Aku pun bergegas ke
ibu kontrakan mau melunasi bayaran kontrakan.
“Udah nggak usah,
ibu mertuamu sudah melunasinya, malah itu kontrakanmu sudah dibayar setahun.”
Aku terduduk lemas.
“Ya Tuhan ibu
maafkan menantumu sempat mengeluhkan kedatanganmu.”
Aku pulang dan
menceritakan kepada mas Wawan. Dia pun menangis dan berlari mengambil
handphone.
Segera dia telpon
ibunya yang baru saja menuju pulang.
Tetapi mas Wawan
tak bisa bicara apa-apa dia hanya menangis di telfon.
[Sudah jangan menangis,
ibu nggak pernah mengajari anak ibu berbohong tetapi kali ini kebohongan anak
dan menantu ibu sungguh membuat ibu bahagia]
[Makasih ya Bu]
Yg baca jgn ikut2an nangis ya pak/Bu.
Sampai jumpa kembali di artikel selanjutnya yaa ... Masih banyak materi parenting lainnya yang akan kami shaering dengan Ayah Bunda di lain kesempatan. Silahkan follow media sosial kami juga untuk mendapatkan update seputar parenting.
5 Komentar
Subhanallah memantu dan anak yg baik,sangat tahu caranya berbalas Budi,walau dgn cara kucing kucingan SPT itu,smg saya BS menjadi menantu yg baik buat orang tua saya dan mertua saya,aamiin
BalasHapusMasyaallah semoga hikmah dikisah ini bisa kami jalankan dan istiqomah ... Aamiin ðŸ˜ðŸ˜ðŸ˜
BalasHapusMasyaa Allah penuh haru, semoga Allah muliakan dan bahagiakan selalu penulis dan keluarganya aamiin
BalasHapusðŸ˜ðŸ˜
BalasHapussmoga saya bisa lebih tulus sprti dicerita ini.. aamiin..
BalasHapus